Banyak sekali hadits Rasulullah SAW yang membahas tentang takabur, hasud dan ‘ujub. Hadits yang cukup masyhur yaitu yang diriwayatkan oleh ‘Abdillah bin Mubarrak, dalam bentuk pitutur.
Adalah Rasulullah SAW yang memberikan nasehatnya kepada Sayyidina Mu’adz. Inilah kisahnya:
Suatu hari, Sayyidina Mu’adz bin Jabal didatangi oleh Khalid bin Ma’dan. “Wahai Mu’adz, berilah informasi kepadaku, satu hadits yang kamu dengar langsung dari Rasulullah SAW. ?” Mendengar pertanyaan
seperti ini, Mu’adz menangis tersedu-sedu.
Ia rindu pada Rasulullah SAW., ia ingin segera bertemu. Sebab, bila Mu’adz membaca hadits yang akan disampaikan ini, seakan ia telah bertemu dengan junjungannya itu. “Seakan beliau hadir, langsung memberikan nasehatnya”.
“Aku memang pernah mendengar sebuah hadits,” kata Mu’adz. Kepada Khalid, Mu’adz menuturkan:
“Wahai Mu’adz, aku akan memberimu nasehat. Jika kau berpegang teguh padanya, maka kau akan mendapatkan kemanfaatan di sisinya. Bila kau mengabaikan atau mempermudahnya, maka di hari kiamat kelak akan terputus hujjahmu di hadapan Allah”.
“Wahai Mu’adz, sesungguhnya, sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, Dia telah menciptakan tujuh malaikat. Setelah Allah menciptakan tujuh langit dan tujuh bumi, para malaikat tersebut dilantik. Mereka ditugaskan untuk menjaga setiap pintu langit. Para malaikat Hafadzah yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka membawa amal perbuatan manusia sejak pagi sampai sore. Amal tersebut bersinar, bagai matahari. Setelah amal tersebut dibawa naik sampai ke langit dunia (Langit I), para Malaikat Hafadzah pun memuji dan menyanjungnya. Mereka -para Malaikat Hafadzah – juga menghitung-hitung amal itu sebagai suatu amal yang banyak.
Namun, setelah amal tersebut dilihat oleh Malaikat penjaga langit I, spontan ia berkata pada Malaikat Hafadzah: “Amal ini tidak perlu dilanjutkan ke atas !. Akulah yang mengawasi tentang ghibah (mengumpat). Allah telah memerintahkan kepadaku untuk melarang keras, bahwa amal seseorang yang suka dengan ghibah, sama sekali tidak boleh melewati tempatku ini. Apalagi sampai dinaikkan ke atas !”
Malaikat Hafadzah datang membawa amal kebajikan dan amal shalih seorang manusia. Para Malaikat Hafadzah itu memuja dan memuji amalan tersebut. Mereka juga menghitung-hitung, sebagai amal kebajikan yang dapat dihaturkan kepada Allah, dapat sukses melewati langit dunia. Sesampainya di langit II, maka, malaikat yang bertugas di langit II berkata kepada Malaikat Hafadzah: “Amal ini sampai disini saja !. Jangan kau teruskan ke atas. Pukulkanlah amal ini pada pemiliknya ! Dia beramal dengan tidak ikhlas, memamerkan diri, pembohong, dan menginginkan kenikmatan duniawi ! Akulah Malaikat yang diberi tugas mengawasi kebohongan. Allah memerintahkan agar melarang amal seperti ini tidak dibawa naik ke atas. Amal seperti ini tidak diperkenankan melewati tempatku ini, sebab, si empunya amal, dikala berkumpul dengan sesama manusia, ia merasa tinggi hatinya”.
Malaikat Hafadzah datang dengan membawa amal seseorang dengan sinar yang berkilauan. Ia berasal dari amal sedekah, shalat dan puasa. Para Malaikat Hafadzah merasa kagum dibuatnya. Di langit I dan II, ia lolos sensor. Namun, setelah sampai di langit III, ia dihentikan. “Pukulkanlah amal ini pada pemiliknya. Ia takabur sewaktu berkumpul dengan sesama manusia. Aku ditugaskan untuk mengontrol masalah takabur. Allah memerintahkan kepadaku, kalau amal orang yang takabbur tidak boleh dinaikkan ke atas !” kata Malaikat penjaga langit ke III kepada Malaikat Hafadzah.
Amalan membaca tasbih, sholat, puasa, haji, dan umroh, dibawa oleh Malaikat Hafadzah dengan cahaya terang, dan suara bergemuruh. Langit I, II dan III bisa dilewati dengan sukses. Tapi, begitu memasuki langit IV, ia dihentikan oleh Malaikat penjaga langit ke IV, ia dihentikan oleh malaikat penjaga. “Amal ini tidak bisa dilanjutkan ke atas, kembalikanlah dan pukulkanlah kepada pemiliknya. Ia beramal dengan ‘ujub. Aku ditugaskan untuk menyensor amal yang dilakukan dengan ‘ujub. Allah melarang meluluskan amal orang yang ‘ujub, juga untuk sampai ke atas !”
Malaikat Hafadzah pun membawa amal kebajikan manusia yang sangat baik. Ibaratnya, pengantin baru yang sedang dikirab. Amal ini dapat dibawa ke atas – sampai ke langit IV – dengan sukses. Namun, sesampainya di langit V, ia dihentikan oleh Malaikat penjaganya. Bahkan, Malaikat Hafadzah disuruh memukulkan amal itu kepada pemiliknya. Juga, dipikulkan ke bahunya. Ternyata, pemilik amal tersebut berbuat hasud terhadap orang yang menandingi amal kebajikan yang diperbuatnya. Baik amal tersebut berupa menuntut ilmu, ibadah, dan lain sebagainya. Bahkan ia tidak rela terhadap ibadahnya orang lain. Ia selalu hasud dan menyakitkan hati. “Aku ini yang diperintahkan oleh Allah agar mengoreksi orang yang hasud. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk melarang amal orang yang hasud di bawa naik keatas, melewati tempatku ini. Pukulkanlah amal itu kepada pemiliknya”.
Ada lagi Malaikat Hafadzah naik membawa amal manusia yang berupa amal sholat, puasa, zakat, haji, ‘umroh, dan jihad di jalan Allah. Amal itu bercahaya bagaikan matahari. Ketika mau memasuki langit VI, ia tertahan. Tidak boleh di bawa naik. Bahkan – oleh Malaikat penjaganya – disuruh memukulkan kepada pemiliknya. Pemilik amal ini, ternyata, tidak punya rasa belas kasihan terhadap sesama. Bahkan, ketika ada orang terkena musibah, ia malah gembira. “Aku yang mengawasi tentang kasih sayang. Oleh Allah, aku diperintahkan mengawasi amal orang yang tidak memiliki kasih sayang terhadap sesama. Ia tidak boleh melewati tempatku ini,” ucap Malaikat penjaga langit VI pada Malaikat Hafadzah.
Malaikat Hafadzah naik lagi. Kali ini membawa amal seseorang yang berupa puasa, sholat, zakat, nafkah, jihad dan wira’i. Suaranya bergemuruh, sinarnya terang benderang. Oleh karena kebaikan dari amal tersebut, 3000 Malaikat pun mengawalnya. Dengan rasa optimistis, Malaikat Hafadzah naik ke langit ke tujuh. Langit I sampai VI dilewatinya dengan mulus, tanpa rintangan. Ternyata, sesampainya di langit VII, amal ini dihentikan oleh Malaikat penjaganya. Bahkan Malaikat Hafadzah disuruh memukulkan amal itu kepada pemiliknya, dan dikelupas hatinya. “Akulah yang diberi tugas oleh Allah agar menahan dan melarang amal perbuatan seseorang dibawa ke langit yang lebih tinggi. Sebab, yang dilakukannya bukanlah semata-mata karena keridloan Allah. Tetapi, dengan maksud agar mendapat pangkat Fuqoha (ilmuwan), dan sanjungan. Amal ini adalah amal riya’, bukan Lillahi Ta’ala. Allah tidak mau menerima amal seperti itu,” kata Malaikat penjaga memberikan penjelasannya.
Sekali lagi, Malaikat Hafadzah membawa amal kebaikan seseorang, yang berasal dari sholat, zakat, puasa, haji, umroh, bermoral, pendiam, dzikir dan sebagainya. Oleh karena lengkap dan baiknya amal tersebut, maka Malaikat yang berada di tujuh langit dan tujuh bumi mengiringinya. Malaikat Hafadzah dan para pengiringnya sukses, bisa menghadap pada Allah. Kepada Allah, amal kebajikan itu diserahkan. Amal seorang hamba yang penuh ikhlas. Setelah Allah memeriksanya, Ia pun berfirman: “Wahai para Malaikat (Hafadzah), kamu melihat dan mengetahui amal hamba-Ku. Sedangkan Aku senantiasa mengetahui apa yang terjadi di hatinya. Dan ketahuilah, bahwa hamba-Ku ini melakukan amal kebajikan bukan karena mencari keridloan-Ku, tapi karena yang lain. Oleh karenanya, hamba yang beramal ini tetap Aku laknati”.
Oleh sebab itu pula, para Malaikat itu berikrar: “Ya Allah, semoga laknat-Mu tetap kepada si empunya amal ini. Kami juga ikut melaknatinya. Juga, Malaikat penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, ikut pula melaknatinya”.
Mendengar penuturan dari Rasulullah SAW. ini, Mu’adz bin Jabal menangis sejadi-jadinya. “Wahai Rasulullah SAW., engkau adalah utusan-Nya, maka engkau pun jelas selamat. Tapi, bagaimana dengan aku”” tanya Mu’adz pada Rasul. “Jalan yang dapat menyelamatkanmu, ikuti aku, sekalipun amalmu itu masih ada kekurangannya!” jawab Rasulullah SAW. dengan bijak. Untuk itu – masih kata Rasulullah SAW. – “Wahai Mu’adz, perhatikan ini:
Jagalah lisanmu. Jangan sampai membicarakan keburukan saudaramu, sesama muslim, khususnya yang ahli (membaca) Al-Qur’an
Dosamu kau tanggung sendiri. Jangan sampai dosamu kau bebankan pada orang lain.
Jangan menyanjung dan memuji diri sendiri. Jangan pula mencemooh atau mencela sesama manusia.
Jangan bertinggi hati, dan meremehkan orang lain.
Jangan mencampurkan amal akherat dengan amal dunia, seperti menuntut ilmu demi kemanfaatan dunia.
Ketika bergaul dengan orang, jangan takabbur, agar mereka dapat menjaga keburukanmu.
Jangan berbisik, sehingga dapat menimbulkan syak wasangka orang lain.
Meskipun kau kaya dan berilmu, tapi jangan merasa besar, dan menganggap orang lain di bawahmu. Hal ini – kalau sampai terjadi – dirimu akan terputus dari kebaikan dunia wal akherat.
Jangan mencaci maki orang lain. Hal ini akan menyebabkanmu dikeroyok oleh anjing neraka jahannam, di hari kiamat kelak. Ingatlah Firman Allah :
“Dan (Malaikat-malaikat) yang mencabut nyawa dengan lemah lembut”. (QS. 79:2).
“Tahukah kau, apakah Nasythath itu? tanya Rasulullah pada Mu’adz
“Aku tidak mengerti. Apakah Nasythath itu, wahai Rasulullah SAW.?” Mu’adz balik bertanya.
“Nasythath itu adalah anjing-anjing neraka, yang menggerogoti daging-daging manusia, hingga tinggal tulang belulang belaka,” jawab Rasulullah SAW. memberikan penjelasan.
“Ya Rasulullah SAW. siapa yang kuat merasakan, dan selamat dari hal itu?”
“Itu mudah, bagi orang yang dimudahkan oleh Allah. Kau tidak perlu prihatin,” jawab Rasulullah SAW. Kalau kau ingin selamat, masih kata Rasulullah SAW., sayangilah apa yang kau dan orang lain sayangi. Sebaliknya, apa yang tidak kau senangi, maka janganlah diberlakukan pada orang lain. “Wahai Mu’adz, jika kau dapat melakukan yang demikian ini, maka dirimu akan selamat.”
Dari kisah tersebut di atas, Khalid bin Ma’dan berkomentar: “Sepengetahuanku, tidak ada orang yang paling sungguh-sungguh dalam membaca Al-Qur’an, seperti Mu’adz. Hadits Rasulullah SAW. tersebut di atas dibacanya berulang kali, seperti dia membaca Al-Qur’an.”
Oleh sebab itu, wahai penuntut ilmu ! renungkanlah hadits tersebut secara mendalam. Ketahuilah, bahwa sifat buruk dalam hati adalah karena menuntut ilmu pengetahuan karena pamrih, untuk mendapat sanjungan , dan terkenal. Bagi orang yang bodoh, hal ini kecil kemungkinanya. Tapi, bagi mereka yang pandai, itu adalah sasaran empuk. Maka, kerusakanlah akibatnya. Hindarkanlah kerusakan, dengan cara bertadarru’ kepada Allah, sepanjang siang dan malam.
Oleh sebab itu, mawas dirilah dalam segala urusan. Hindarilah hal-hal yang menyebabkan datangnya kerusakan. Sifat-sifat seperti: takabbur, riya’ hasud, dan ‘ujub, merupakan sebagian dari induk sifat hati yang buruk. Ibarat pohon, satu pohon bercabang tiga. Adapun pohon yang dimaksudkan adalah cinta kemewahan dunia. Karenanya, Rasulullah SAW. dengan tegas bersabda:
“Cinta dunia adalah awal timbulnya segala kesalahan”
Perlu diingat, bahwa dunia adalah ladang untuk mendapatkan buah, di akherat kelak. Maksudnya, barang siapa yang menggunakan dunia sekedar darurat dalam memperoleh kepentingan akherat, maka dunia adalah ladangnya. Sedangkanb bila dia mengejar kepentingan duniawi , maka dunia merupakan media buat merusak diri sendiri. Karenanya, berhati-hatilah di dalam menuntut kepentingan dunia.
Apa yang tersebut di atas adalah penjelasan tentang taqwa yang lahiriyah, yang disebut dengan Bidayatul Hidayah. Jika sekiranya kita sudah dapat meramaikan bathihn hati dengan ketaqwaan, maka disitulah hijab (tabir pemisah) antara kita dengan Allah akan terbuka dengan luas. Teranglah cahaya ma’rifah, disamping sumber hikmah ibarat air memancar dari hati sanubari. Kalau itu telah ada, maka kita akan dapat melihat dengan lebih jelas, tentang rahasia-rahasia Allah yang tersimpan di langit dan bumi. Dengan demikian, kesuksesan akan terbuka dengan cemerlang.
Segala ilmu yang telah dita’rifkan oleh para ulama yang pada sahabat dan tabi’in hampir tak disebut-sebut lagi – seperti Ilmu Fiqih, Nahwu Shorof dan lain sebagainya, semuanya itu seakan kita anggap mudah. Masuk peringkat kedua saja. Adapun yang pertama diperhatikan adalah ilmu taqwa lahir dan bathin.
Apabila kita menuntut ilmu dengan cara berbicara, debat dan diskusi, maka kita adalah orang yang tertimpa musibah yang sangat besar. Sayang sekali. Kita memang telah mengalami kesukaran yang amat sangat, yakni, mempertahankan pendapat tetapi tidak menghasilkan hasil apa-apa, kecuali hanya kerugian belaka. Bila kita tidak mauy merasa keberatan untuk melakukan kewaspadaan dan ketelitian dalam segala hal, maka, lakukanlah dengan kehendak hati. Tapi, ketahuilah, bahwa kesenangan duniawi adalah sementara sifatnya. Dan bila kita cari dengan menjual agama, maka sama sekali tidak akan selamat. Bahkan, akherat yang selama ini kita harapkan akan menjadi hampa, hilang sama sekali.
Barangsiapa mencari kemewahan dunia dengan berkedok pada agama, ia telah merusak keduanya: dunia dan agama! Di akherat tidak mendapatkan pahala, di dunia tidak mendapatkan kemewahan duniawi yang langgeng. Sebaliknya, barangsiapa meninggalkan dunia dengan tujuan menegakkan agama, maka dia akan mendapat kebahagiaan dunia dan akherat.
Ditukil dari Buku terjemah Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghozali