Manado, kpu, go, id—Ketua KPU RI Husni Kamil Manik mengatakan Provinsi Sulawesi Utara merupakan bagian penting dalam proses demokrasi di Indonesia. Embrio pemilihan umum pertama di Indonesia bermula dari Minahasa pada tahun 1951 untuk memilih 25 anggota DPRD.
“Pemilu di DPRD Minahasa merupakan uji coba sebelum pelaksanaan pemilu nasional tahun 1955,” ujar Husni saat menyampaikan kuliah umum di hadapan mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Kamis lalu (27/5). Dalam kuliah umum tersebut, Husni banyak mengupas tentang sejarah pemilu dan posisi KPU dalam kontek kekuasaan yang semakin dinamis dan berkembang.
Husni menerangkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi Negara yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak memuat tentang pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum. “Diskusi pemilu dikesampingkan oleh para pendiri bangsa,” ujar Husni. Tetapi bukan berarti para pendiri bangsa tidak menginginkan adanya pemilu sebagai sarana sirkulasi kekuasaan. Mereka mengesampingkan pembahasan pemilu karena mereka ingin UUD 1945 itu memuat hal-hal yang sangat pokok saja.
Besarnya perhatian para pendiri republik terhadap pentingnya pemilu sebagai mekanisme pengisian kekuasaan tercermin dari terbitnya Maklumat Nomor X Tahun 1945 tertanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai dasar pendirian partai politik dan penyelenggaraan pemilu. Terbitnya maklumat tersebut hanya selang 3 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
“Pemilu 1955 yang digelar 10 tahun setelah Indonesia merdeka dipandang oleh berbagai pihak sebagai pemilu paling demokratis. Masyarakat Indonesia memilih pemimpin dengan cara yang berbeda dengan budayanya, “ ujar Husni.
Merujuk pada sejarah, sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia, wilayah Indonesia telah terbagi ke dalam kerajaan-kerajaan.
“Hanya mereka-mereka yang berdarah bangsawan atau mengklaim dirinya sebagai darah bangsawan yang dapat menjadi pemimpin saat itu,” ujar Husni.
Penyelenggaraan pemilu 1955, membalikkan budaya pengisian kekuasaan dan kepemimpinan yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara. Hal ini sesuai dengan pilihan para pendiri bangsa tentang bentuk Negara. “Mereka memilih republik dan bentuk Negara ini menganut asas-asas demokratis. Setiap orang adalah pemilik mandat dan berdaulat,” ujarnya.
Pemilu merupakan mekanisme pengisian kekuasaan yang paling beradab. Semua memiliki posisi yang sama di depan hukum dan politik. Setiap orang berhak memilih dan dipilih untuk mengisi kursi kekuasaan.
Quadro Politika
Pemilu 1955 dan pemilu orde baru, outputnya hanya lembaga perwakilan. Begitu juga pemilu pertama di era reformasi tahun 1999. Sementara cabang kekuasaan Negara yang harus di isi ada tiga, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pada pemilu 2004, lingkup pemilu makin luas. Kekuasaan eksekutif nasional yaitu Presiden dan Wakil Presiden, pengisiannya dilakukan melalui pemilu. Demokrasi di aras lokal pun bersemi sejak tahun 2005, di mana kekuasaan eksekutif lokal seperti gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota juga dipilih secara langsung oleh rakyat. “Di luar negeri ada juga cabang kekuasaan yudikatif yang dipilih melalui pemilu,” ujarnya.
Teori dan praktik penyelenggaraan pemilu yang terus berubah untuk pengisian tiga cabang kekuasaan itu, kata Husni telah mendorong munculnya cabang kekuasaan baru, yaitu penyelenggara pemilu. “Kalau dulu istilahnya Trias Politika, sekarang muncul istilah baru quadro politika,” ujar Husni. Di luar pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan lembaga peradilan, terdapat lembaga yang melakukan rekrutmen terhadap berbagai cabang kekuasaan tersebut, yakni Komisi Pemilihan Umum.
Kekuasan badan penyelenggara pemilu di sejumlah Negara di dunia sangat kuat. Di Ekuador, penyelenggara pemilu itu sudah ditegaskan sebagai cabang kekuasaan baru. Sementara di India, selama penyelenggaraan pemilu, sipil dan militer berada di bawah kekuasaan penyelenggara pemilu. “Jadi incumbent yang sedang berkompetisi tidak bisa berbuat curang,” ujarnya. Begitu juga di Pakistan, jika pemilu gagal dilaksanakan, maka yang berwenang menunjuk pelaksana tugas Presiden adalah penyelenggara pemilu.
Quadro politika, kata Husni, secara praktik sudah terjadi di berbagai Negara di dunia, tetapi secara teoritik belum memadai. Di Indonesia, posisi KPU sebagai bagian dari quadro politika masih abu-abu. Pemerintah dan DPR tidak menyebut KPU sebagai lembaga Negara, meskipun secara praktik posisi KPU sangat kuat.
Sejak amandemen UUD 1945 dan penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, SK Presiden tidak lagi ditandatangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebab posisi MPR bukan lagi lembaga tertinggi Negara. Kini SK Presiden terpilih ditandatangani oleh Ketua KPU. “Semua pejabat Negara, SK nya ditandatangani oleh Presiden, sementara Presiden, SK-nya ditandatangani ketua KPU. Jadi secara praktik posisi KPU itu sudah kuat,” ujar Husni. (gd)
“Pemilu di DPRD Minahasa merupakan uji coba sebelum pelaksanaan pemilu nasional tahun 1955,” ujar Husni saat menyampaikan kuliah umum di hadapan mahasiswa Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Kamis lalu (27/5). Dalam kuliah umum tersebut, Husni banyak mengupas tentang sejarah pemilu dan posisi KPU dalam kontek kekuasaan yang semakin dinamis dan berkembang.
Husni menerangkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai konstitusi Negara yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak memuat tentang pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum. “Diskusi pemilu dikesampingkan oleh para pendiri bangsa,” ujar Husni. Tetapi bukan berarti para pendiri bangsa tidak menginginkan adanya pemilu sebagai sarana sirkulasi kekuasaan. Mereka mengesampingkan pembahasan pemilu karena mereka ingin UUD 1945 itu memuat hal-hal yang sangat pokok saja.
Besarnya perhatian para pendiri republik terhadap pentingnya pemilu sebagai mekanisme pengisian kekuasaan tercermin dari terbitnya Maklumat Nomor X Tahun 1945 tertanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai dasar pendirian partai politik dan penyelenggaraan pemilu. Terbitnya maklumat tersebut hanya selang 3 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
“Pemilu 1955 yang digelar 10 tahun setelah Indonesia merdeka dipandang oleh berbagai pihak sebagai pemilu paling demokratis. Masyarakat Indonesia memilih pemimpin dengan cara yang berbeda dengan budayanya, “ ujar Husni.
Merujuk pada sejarah, sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia, wilayah Indonesia telah terbagi ke dalam kerajaan-kerajaan.
“Hanya mereka-mereka yang berdarah bangsawan atau mengklaim dirinya sebagai darah bangsawan yang dapat menjadi pemimpin saat itu,” ujar Husni.
Penyelenggaraan pemilu 1955, membalikkan budaya pengisian kekuasaan dan kepemimpinan yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara. Hal ini sesuai dengan pilihan para pendiri bangsa tentang bentuk Negara. “Mereka memilih republik dan bentuk Negara ini menganut asas-asas demokratis. Setiap orang adalah pemilik mandat dan berdaulat,” ujarnya.
Pemilu merupakan mekanisme pengisian kekuasaan yang paling beradab. Semua memiliki posisi yang sama di depan hukum dan politik. Setiap orang berhak memilih dan dipilih untuk mengisi kursi kekuasaan.
Quadro Politika
Pemilu 1955 dan pemilu orde baru, outputnya hanya lembaga perwakilan. Begitu juga pemilu pertama di era reformasi tahun 1999. Sementara cabang kekuasaan Negara yang harus di isi ada tiga, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pada pemilu 2004, lingkup pemilu makin luas. Kekuasaan eksekutif nasional yaitu Presiden dan Wakil Presiden, pengisiannya dilakukan melalui pemilu. Demokrasi di aras lokal pun bersemi sejak tahun 2005, di mana kekuasaan eksekutif lokal seperti gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota juga dipilih secara langsung oleh rakyat. “Di luar negeri ada juga cabang kekuasaan yudikatif yang dipilih melalui pemilu,” ujarnya.
Teori dan praktik penyelenggaraan pemilu yang terus berubah untuk pengisian tiga cabang kekuasaan itu, kata Husni telah mendorong munculnya cabang kekuasaan baru, yaitu penyelenggara pemilu. “Kalau dulu istilahnya Trias Politika, sekarang muncul istilah baru quadro politika,” ujar Husni. Di luar pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan lembaga peradilan, terdapat lembaga yang melakukan rekrutmen terhadap berbagai cabang kekuasaan tersebut, yakni Komisi Pemilihan Umum.
Kekuasan badan penyelenggara pemilu di sejumlah Negara di dunia sangat kuat. Di Ekuador, penyelenggara pemilu itu sudah ditegaskan sebagai cabang kekuasaan baru. Sementara di India, selama penyelenggaraan pemilu, sipil dan militer berada di bawah kekuasaan penyelenggara pemilu. “Jadi incumbent yang sedang berkompetisi tidak bisa berbuat curang,” ujarnya. Begitu juga di Pakistan, jika pemilu gagal dilaksanakan, maka yang berwenang menunjuk pelaksana tugas Presiden adalah penyelenggara pemilu.
Quadro politika, kata Husni, secara praktik sudah terjadi di berbagai Negara di dunia, tetapi secara teoritik belum memadai. Di Indonesia, posisi KPU sebagai bagian dari quadro politika masih abu-abu. Pemerintah dan DPR tidak menyebut KPU sebagai lembaga Negara, meskipun secara praktik posisi KPU sangat kuat.
Sejak amandemen UUD 1945 dan penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, SK Presiden tidak lagi ditandatangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebab posisi MPR bukan lagi lembaga tertinggi Negara. Kini SK Presiden terpilih ditandatangani oleh Ketua KPU. “Semua pejabat Negara, SK nya ditandatangani oleh Presiden, sementara Presiden, SK-nya ditandatangani ketua KPU. Jadi secara praktik posisi KPU itu sudah kuat,” ujar Husni. (gd)