
“Tahapan uji publik disepakati untuk dihapus,” kata anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada, Muhammad Arwani Thomafi, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (13/2).
Dia menjelaskan tahapan uji publik tidak berganti nama menjadi tahapan sosialisasi sebagaimana awalnya diusulkan dalam draf RUU Pilkada. Pada pembahasan di Hotel Arya Duta, Jakarta, Kamis (12/2) malam, tahapan uji publik yang akan memakan waktu enam bulan itu disepakati dihapus secara keseluruhan. Baik-buruknya calon yang diajukan sebagai kepala daerah dikembalikan ke partai politik.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengungkapkan ada sejumlah pertimbangan sebelum memutuskan uji publik dihapus. Selain karena menganggap merupakan ranah dari partai politik, konsep uji publik tidak terlalu penting. “Kan tidak memiliki akibat, hanya menginformasikan saja dan mengonfirmasi,” ujarnya.
Menurutnya dengan konsep seperti itu maka hal tersebut sudah bisa dilakukan lewat partai politik yang didorong agar lebih transparan. Juga, lewat masukan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dengan keabsahan validitas administrasi calon kepala daerah. “Misalnya soal ijazah. Nanti kan penyelengara akan lakukan cek lapangan, mempertanyakan juga pada masyarakat, termasuk juga tidak menutup diri atas masukan atau komplain dari masyarakat jika dirasa itu bisa berpengaruh pada keabsahan administrasi calon kepala daerah,” paparnya.
Dengan dihapusnya uji publik, Arwani belum bisa memastikan menjadi berapa lama total tahapan pelaksanaan pilkada. “Karena masih banyak isu yang harus dibahas yang berpengaruh terhadap berapa lama tahapan secara keseluruhan,” imbuhnya. Yang jelas, sambung Arwani, dengan hilangnya uji publik yang sebelumnya dialokasikan berlangsung enam bulan, maka pelaksanaan pilkada serentak pada akhir 215 menjadi makin relevan.
Kesepakatan Lain
Lebih lanjut dijelaskan, tiga poin lain yang telah disepakati DPR dan pemerintah adalah pendelegasian tugas menyelenggarakan pilkada kepada KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), syarat usia minimal calon kepala daerah, dan syarat pendidikan minimal calon kepala daerah. “Untuk syarat usia, calon gubernur tetap 30 sementara bupati/wali kota 25 tahun. Sedangkan syarat pendidikan yang awalnya diusulkan gubernur adalah sarjana dan bupati/walikota diploma 3, akhirnya disepakati tetap minimal SMA sederajat,” ujar Arwani.
Jangan “Berjudi”
Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarul Zaman, menambahkan dengan dihapusnya uji publik, partai politik mesti lebih hati-hati dan tidak boleh ‘berjudi’ dalam memilih calon kepala daerah. Sebab partai politik bisa mendorong calon-calon yang berkualitas, memiliki kompetensi, dan berintegritas, atau calon dengan kualifikasi sebaliknya.
“Partai itu dari awal harus perhitungkan, bahwa yang diusung ini sudah punya kompetensi, integritas, atau berkualitas. Walaupun pada akhirnya jatuh pada pemilih,” kata dia.
Anggota Panja RUU Pilkada dari PKS, Jazuli Juwaini, mengungkapkan salah satu poin yang belum disepakati adalah ketentuan mengenai pemilihan hanya diikuti kepala daerah atau secara berpasangan dengan wakil. PKS sendiri mendorong pemilihan kembali secara berpasangan seperti selama ini dilakukan. Menurutnya, alasan pemerintah mengusulkan pemilihan hanya diikuti calon kepala daerah karena banyaknya yang pecah kongsi tidak tepat. (har/AR-3)