
Padang, kpu.go.id- Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkewajiban melakukan evaluasi penyelenggaraan tahapan Pemilu. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengukur dan menilai kesesuaian kinerja penyelenggara dengan kerangka hukum Pemilu. Agar pelaksanaan evaluasi berlangsung efektif dan objektif, maka penilaian harus berdasarkan fakta dan catatan peristiwa yang terjadi dalam setiap tahapan Pemilu.
Demikian ditegaskan Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Husni Kamil Manik pada pembukaan evaluasi penyelenggaraan Pemilu Tahun 2014 yang diselenggarakan KPU Provinsi Sumatera Barat bersama KPU Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat di Pangeran Beach Hotel, Jumat (14/11) malam. “Dalam mendiskusikan berbagai hal yang terjadi dalam setiap tahapan jangan hanya berdasarkan asumsi, tetapi harus disertai dengan data-data yang konkret,” ujarnya.
Evaluasi, kata Husni, diperlukan sebagai antisipasi agar kesalahan yang terjadi tidak terulang lagi pada Pemilu berikutnya. Husni memberikan beberapa contoh perbaikan pelaksanaan tahapan yang dicapai dari waktu ke waktu berkat adanya kegiatan evaluasi dan tindaklanjut terhadap hasil evaluasi tersebut. “Misalnya dengan menggunakan aplikasi sistem informasi logistik (Silog), KPU telah berhasil menekan jumlah surat suara tertukar pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD kemarin,” ujarnya.
Husni mengatakan pada Pemilu 2004, kasus surat suara tertukar cukup masif, tidak hanya terjadi antar provinsi tetapi juga terjadi antar pulau. Sementara pada Pemilu 2009, surat suara tertukar antar pulau berkurang, tetapi surat suara tertukar untuk tingkat regional masih cukup banyak. Pada Pemilu 2014, surat suara tertukar lebih banyak terjadi antara daerah pemilihan (dapil) di kabupaten/kota yang sama. Untuk kasus surat suara tertukar antar dapil di tingkat provinsi dan pusat, jumlah sangat kecil.
Kegiatan evaluasi, kata Husni, sangat membantu KPU merumuskan kebijakan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Pemilu. Misalnya untuk menangani kasus surat suara tertukar pada Pemilu 2009, KPU mengambil keputusan tidak menggelar pemungutan suara ulang (PSU). Surat suara tertukar yang sudah tercoblos dihitung sebagai suara partai, padahal sistem Pemilu yang digunakan proporsional terbuka. “Aturan inilah yang kita perbaiki pada Pemilu 2014. Jika terdapat surat suara yang tertukar kemudian tercoblos oleh pemilih, maka dilakukan PSU untuk menjamin hak setiap calon,” ujarnya.
Husni juga memberikan catatan pada pelaksanaan tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu. Saat itu tim verifikator KPU sempat kelabakan menghadapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan semua partai politik mendaftar dan mengikuti verifikasi ulang, termasuk partai politik hasil Pemilu 2009 yang lolos ke parlemen. “Awalnya kita hanya mengatur waktu untuk melakukan verifikasi terhadap parpol di luar parpol yang lolos ke parlemen. Setelah putusan MK, semuanya wajib diverifikasi. Hal ini membuat petugas kita kelabakan. Ke depan, waktu untuk melaksanakan tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik perlu ditata ulang,” ujarnya.
Sementara penggunaan aplikasi sistem informasi partai politik (sipol) yang disediakan KPU untuk pendaftaran partai politik belum sepenuhnya berjalan efektif. Dalam penggunaannya masih terdapat kendala-kendala teknis baik di jajaran personel maupun perangkat teknologinya. Hal ini terjadi karena waktu bagi KPU untuk menyiapkan aplikasi tersebut sangat terbatas. Selain itu, bimbingan teknis (bimtek) kepada petugas dan sosialisasi kepada penyelenggara belum maksimal.
Untuk konteks partisipasi pemilih, kata Husni, jika membaca angka statistik, secara nasional terjadi peningkatan partisipasi pemilih yang menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara. Partisipasi pemilih pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 mencapai 75,11 persen meningkat dibanding Pemilu Tahun 2009 dengan tingkat partisipasi 71 persen. Sementara partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 hanya 70,59 persen, menurun dari Pemilu Tahun 2009 dengan tingkat partisipasi 71,7 persen.
Tetapi dalam perspektif akademis, kata Husni, terdapat keragaman dalam mendefenisikan partisipasi masyarakat pada kegiatan Pemilu. Pertama, partisipasi diartikan sebagai partisipasi yang dilakukan orang biasa pada penyelenggaraan Pemilu. Merujuk pada defenisi tersebut, maka partisipasi yang dilakukan perguruan tinggi, pegiat demokrasi, dan media massa tidak dapat dikategorikan sebagai partisipasi masyarakat.
Kedua, partisipasi harus dilakukan oleh masyarakat dengan kesadaran sendiri. Masyarakat dalam berpartisipasi terbebas dari kooptasi pemerintah dan tangan-tangannya. Tidak ada unsur paksaan baik dengan pendekatan kekuasaan maupun uang untuk mempengaruhi pemilih.
Ketiga, partisipasi harus dapat mempengaruhi kebijakan publik. Untuk itu, dalam pelaksanaan kampanye, idealnya peserta Pemilu lebih banyak menggunakan komunikasi dua arah.
Partisipasi, kata Husni, tidak sepenuhnya dapat dimaknai hanya dengan melihat angka statistik dan aspek-aspek teknis. Karena itu, kehadiran golongan putih (golput) tidak serta merta dapat dianggap sebagai bentuk kegagalan penyelenggara dalam melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih. Sebab golput ada juga yang muncul dengan dasar yang sangat rasional. Seseorang dapat saja menjadi golput karena tidak yakin partai politik dan calon anggota legislatif dapat memperjuangkan aspirasinya.
“Untuk dapat menilai berbagai peristiwa Pemilu secara objektif maka diperlukan evaluasi yang berbasis riset. Kita sedang mengembangkan evaluasi ke arah sana. Kegiatan ini rencananya akan mulai kita lakukan tahun depan. Untuk saat ini mekanisme evaluasi baru sebatas mengundang semua stakeholders Pemilu untuk mengungkapkan catatannya dalam pelaksanaan setiap tahapan Pemilu,” ujarnya. (GD/red. FOTO KPU/Hupmas)