Jakarta, kpu.go.id- Pemanfaatan teknologi informasi diperlukan dalam meningkatkan transparansi dan kualitas pemilu. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK) telah mengembangkan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu juga telah mempersiapkan rencana kerja, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang, terutama dalam hal pemanfaatan teknologi informasi dalam pemilu.
Teknologi informasi tersebut harus didesain untuk penyelenggaraan pemilu yang sistematis, terencana, dan masif. Selain itu, penting diperhatikan bahwa teknologi itu bisa tepat dalam hal kegunaan, sasaran, jumlah, jenis dan waktu. Saat ini KPU mempunyai dua skala prioritas, pertama, teknologi informasi untuk pemutakhiran data pemilih, kedua, teknologi rekapitulasi penghitungan suara yang cepat. Dua skala prioritas tersebut dipandang jauh lebih murah daripada harus mengejar e-voting, selain butuh waktu mempersiapkan peralatannya, juga harus mensosialisasikan ke masyarakat dan ke petugas pemungutan suara.
Hal tersebut disampaikan Ketua KPU RI Husni Kamil Manik saat menerima audiensi rombongan BPPT, Senin (10/2) di Ruang Rapat Lantai 1 kantor KPU RI.
“KPU ingin ada tim yang bisa menilai dan memberi masukan mengenai teknologi apa saja yang bisa dilakukan pada penyelenggaraan pemilu, mengenai roadmap penggunaan teknologi itu, dan strategi pencapaian target yang satu ke target yang lain. Mungkin kita kampu mengadakan peralatan sekarang ini, tetapi stakeholder kita belum tentu bisa percaya dengan peralatan ini, dikhawatirkan pada saat pemilu selesai, kita dianggap curang dengan alat tersebut,” ujar Husni yang didampingi jajaran Anggota KPU RI lainnya.
Husni juga mencontohkan, pada penyelenggaraan Pemilu 2014 yang lalu, KPU telah menyediakan alat publikasi yang menampilkan hasil penghitungan suara dengan basis Formulir C1. Hasilnya, untuk Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, publikasi tersebut dapat menampilkan 85 persen hasil penghitungan suara, sedangkan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat mendekati 99 persen. Meskipun publikasi tersebut dapat dilihat dengan jelas, namun masih saja ada yang tidak percaya dengan hal tersebut.
“Kalangan elit masih sulit untuk bisa percaya penggunaan alat memilih elektronik atau e-voting dalam pemilu, apalagi masyarakat, meskipun masyarakat sekarang lebih cerdas, tetapi belum tentu mereka juga mempercayainya. Kalau kita sudah pakai teknologi informasi dalam pemilu, semua pihak seharusnya siap untuk menerima hasil dari teknologi ini,” jelas Husni.
Sementara itu Deputi Kepala BPPT Hammam Riza yang memimpin rombongan BPPT mengungkapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 yang merupakan pengesahan dari PERPPU Nomor 1 Tahun 2014, dinyatakan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik. Terkait dengan hal tersebut, BPPT memandang ada dua hal yang perlu ditindaklanjuti, pertama, tata cara pemberian suara elektronik atau e-voting, kedua, kebutuhan dan pengawasan dalam penghitungan suara.
“Tata cara pemberian suara elektronik tersebut efisien dan memudahkan pemilih dalam pemungutan suara, tetapi perlu juga diatur dalam Peraturan KPU. Peraturan tersebut harus melalui uji petik dan bisa dilakukan dalam penyelenggaraan pilkada. BPPT juga telah melakukan uji petik penggunaan teknologi informasi dalam e-counting dan e-rekapitulasi di Pekalongan,” papar Hammam Riza.
Uji petik di Pekalongan menggunakan Unstructured Supplementary Service Data (USSD) untuk e-rekapitulasi dan Digital Mark Reader (DMR) untuk e-counting. Sebanyak 564 TPS dilakukan pengujian teknologi tersebut pada saat Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014. Hasil e-counting dan e-rekapitulasi tersebut hasilnya bisa langsung dikirim ke data centre dan ditayangkan dalam bentuk grafik-grafik, serta ditayangkan di website BPPT.
Direktur PTIK Hary Budiarto yang memaparkan konsep pengembangan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu, mengungkapkan e-voting lebih efisien, nyaman, aman, dan berkualitas. Dalam pemutakhiran data pemilih, syarat utamanya warga masyarakat harus mempunyai KTP elektronik atau e-KTP, sehingga dapat terbaca oleh card reader. Kemudian dalam teknologi pemungutan suara, BPPT juga telah mempraktekkan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
“Sebetulnya masyarakat di bawah itu tidak ada masalah dengan e-voting, buktinya masyarakat di daerah terpencil pun mampu menggunakannya, sehingga mungkin hanya elit politik saja yang masih mempermasalahkannya. Untuk pemilu serentak, tentu saja kita perlu industri untuk memproduksi alat tersebut, untuk keamanan informasi, BPPT juga telah mempersiapkan SOP keamanan informasi, dan audit sistem informasi,” papar Hary Budiarto. (arf/red. FOTO KPU/dam/Hupmas)