Komisi Pemilihan Umum
Kota Bogor
Kamis, 07 Agustus 2025
HASIL RISET: Prakktek Jual-Beli Suara Pada PILEG 2014 Lebih Masif di Pedesaan
Administrator   10 Agustus 2015  
HASIL RISET: Prakktek Jual-Beli Suara Pada PILEG 2014 Lebih Masif di Pedesaan

 

Purwokerto, kpu.go.id- Praktek jual-beli suara (vote buying) pada Pemilu Legislatif tahun 2014 lebih masif terjadi di wilayah pedesaan dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Hal tersebut terjadi dikarenakan faktor ketertinggalan pembangunan masyarakat desa di bandingkan dengan masyarakat perkotaan. Pada umumnya pemberian uang dan/atau barang kepada para pemilih oleh kandidat untuk lebih untuk memenuhi kebutuhan komunal pedesaaan, seperti sumbangan uang kepada kas RT, fasilitas masjid/musholla, kebutuhan kelompok dasawisa dan sumbangan untuk pembangunan infrastruktur desa. Hanya sedikit diantara pemilih yang berinisiatif langsung meminta uang kepada para kadidat.

Demikian salah satu paparan yang disampaikan oleh Andi Ali Said Akbar, S.IP., MA pada rapat kerja serah terima dan pemaparan hasil riset partisipasi Pemilu di aula KPU Kabupaten Banyumas, Jumat (31/7). Ali bersama timnya melakukan riset selama tiga bulan sebagai bagian dari kerja samanya dengan KPU Kabupaten Banyumas untuk mengetahui dinamika politik uang (money politic) pada Pemilu Legislatif tahun 2014 lalu. Selain di wilayah pedesaan, Ali dan timnya juga menemukan bahwa masyarakat yang tinggal di pinggiran kota termasuk yang rentan menjadi sasaran jual-beli suara. Adapun faktor yang mempengaruhi perbedaan pola jual-beli suara di wilayah desa dan kota, menurut Ali,  adalah struktur demografi, kultur politik dan teknis penyelenggara Pemilu. “Ruang geraknya terbatas karena faktor heterogenitas dan literasi politik kota lebih memadai”, kata Ali menjelaskan perbedaan masyarakat desa dan kota yang mempengaruhi perbedaan intensitas praktek jual-beli suara.

Habis Rp 800 juta

Lebih lanjut, menurut Ali, penelitian yang dilakukannya memilih lokasi di Dapil 4 dan Dapil 5. Dipilihnya Dapil 4 dan Dapil 5 dipilih untuk mewakili Dapil wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan. Adapun para informan selain diambil dari para pemilih juga mengambil dari para kandidat calon anggota DPRD Kabupaten Banyumas, baik yang terpilih maupun yang tidak terpilih. Hasilnya sebagaimana di tempat lain, masif dan vulgarnya praktek jual-beli suara juga terjadi di Kabupaten Banyumas pada pemilu tahun 2014 lalu. Hal tersebut dapat diketahui dari ongkos politik yang dikeluarkan oleh beberapa caleg yang menjadi informan penelitian ini. Meskipun beberapa informan menampik telah melakukan jual-beli suara, tetapi mereka mengakui telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menarik simpati pemilih, bahkan salah satu informan mengaku telah mengeluarkan biaya sekitar Rp 800 juta. “Rel (demokrasi) selanjutnya menyatakan kereta demokrasi membutuhkan biaya suksesi yang mahal. Uang dan Demokrasi tidak dapat dipisahkan. Terkadang hanya kandidat yang bermodal kuat yang dapat selamat dari persaingan uang yang kian anarkhis dan vulgar”, tulis Ali dalam salah satu paragraf kesimpulan riset untuk menanggapi mahalnya ongkos politik para kandidat.

Dosen Jurusan Ilmu Politik Unsoed itu juga menambahkan tidak semua kandidat mendekati pemilih dengan cara membagikan uang dan/atau barang kepada pemilih, tetapi sebagian kandidat juga melakukan pemberian bantuan dan pelayanan sosial. “Bantuan mobil untuk bangunan (mobil melon) miliknya bisa dipakai warga dengan gratis. (Juga) Anak-anak beprestasi dikasih sumbangan”, kata Ali mengutip jawaban salah satu informan. Cara inilah yang banyak dilakukan oleh kandidat incumbant untuk menarik simpati pemilih, sebab mereka dapat memobilisasi sumberdaya negara untuk meningkatkan elektabilitasnya. “Fenomena meningkatnya anggaran bansos pemerintah menjelang akhir masa jabatan adalah gejala yang tidak terbantahkan”, katanya menambahkan.

Rekomendasi

Untuk mengatasi maraknya jual-beli suara di masa datang, Ali mengusulkan kepada para pemangku kepentingan kepemiluan untuk menempuh dua cara kebijakan. Pertama, kebijakan yang menitikberatkan kepada pemberdayaan (empowerment) masyarakat pemilih di level bawah, misalnya dengan mengkampanyekan gerakan penistaan terhadap politik uang, merintis gerakan desa anti-politik uang dan peningkatan kapasitas kampanye. Kedua, kebijakan yang sifatnya regulatif, yaitu dengan penyusunan regulasi yang ditujukan untuk meminimalisir praktek jual-beli suara, seperti penyempurnaan sistem pemilu proposional terbuka.

Sementara itu, Ketua KPU Kabupaten  Banyumas Unggul Warsiadi, SH., MH, menilai apa yang telah dilakukan oleh tim peneliti sesuai dengan yang diharapkan. Menurutnya, laporan riset ini setidaknya telah menggambarkan fenomena yang selama ini sangat jelas dirasakan tetapi sulit untuk dibuktikan. “Ini sangat penting agar ke depan para pengambil kebijakan punya pijakan yang kuat dalam mengambil satu kebijakan untuk mengurangi praktek jual-beli suara dalam Pemilu bukan berdasar atas asumsi belaka”, katanya. (spa/red)

Infografis
Tautan
Terbaru dari Twitter
Hari ini : 37
Bulan ini : 918
Tahun ini : 16559
Anda pengunjung ya ke - : 64676
Hubungi Kami Melalui Whatsapp
Hubungi Kami
Melaui Whatsapp