
Jakarta, kpu.go.id- Meningkatnya Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tingkat nasional 2014, sebagaimana dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2015, tak lepas dari peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah sukses menggelar Pemilu 2014. Direktur Statistik Ketahanan Sosial BPS Thoman Pardosi mengatakan peran KPU sangat besar terkait dengan peningkatan IDI 2014 tersebut.
“(Meningkatnya IDI 2014) banyak dipengaruhi oleh pemilu kita (2014) yang dinilai membaik. Karena bandingannya adalah diantaranya langsung ke 2009. Ada juga bandingannya ke 2013, yang mana dari 2009 ke 2013 itu tetap tadi,” ungkap Thoman Pardosi ditemui di ruang kerjanya, Selasa (18/8).
Thoman menerangkan, kontribusi KPU terhadap IDI 2014 di antaranya terkait dengan kualitas DPT yang lebih baik, penyediaan fasilitas penyandang cacat dalam Pemilu, dan sebagaianya. “DPT membaik, fasilitas penyandang cacat dengan tiadanya kasus yang mencuat terkait dengan pemilih penyandang cacat,” ujar Thoman.
Ia menjelaskan, ada tiga aspek dengan 11 variabel dan 28 indikator dalam menetapkan IDI 2014. “Komponen penghitungan IDI 2009-2014 ini ada tiga aspek, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan institusi demokrasi. Ada 11 variabel dan di dalamnya ada 28 indikator,” terangnya.
“Kenaikan IDI 2014 ini secara keseluruhan lebih banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh hal-hal yang menyangkut institusi demokrasi. Di dalamnya variabelnya pemilu yang bebas dan adil,” imbuhnya.
Metode penghitungan IDI 2014 menggunakan empat sumber data, yakni review surat kabar lokal dari tiap provinsi, review dokumen dari Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub) dan lain-lain, focus group discussion (FGD), dan wawancara mendalam.
Pengumpulan data berlangsung sepanjang tahun di semua provinsi di seluruh Indonesia, yang selalu didiskusikan dua kali dalam sepekan. Data-data yang dikumpulkan dari media massa, terutama koran, harus memenuhi unsur dan syarat jurnalistik. Kemudian didiskusikan, dianalisis, serta dilakukan wawancara mendalam terhadap kasus terkait.
“Kita temui di media koran, seperti hak memilih dan dipilih berapa banyak kasusnya, kecurangan dalam penghitungan suara itu berapa banyak kasusnya. Dipreteli satu persatu kemudian dinilai masuk apa tidak,” kata Thoman.
Tak hanya dari surat kabar, BPS juga mengambil data-data kasus yang mereka temui dari lembaga-lembaga lain. “Kami mengambil laporan dari KPU, Bawaslu, dan laporan LSM,” jelas pria asal Porsea, Sumatera Utara ini.
Misalnya seperti masalah DPT, BPS mengambil data dari KPU. “Kita ambil dari KPU. Kita ambil berapa jumlah DPT, berapa jumlah DPK. DPK itu kita anggap sebagai kesalahan. Kalau semua DPT benar, DPK semakin sedikit. DPT banding DPK. Kita sebar, berapa jumlahnya. Semakin banyak DPK, berarti makin buruk,” papar pria kelahiran 28 Juni 1959 ini.
“Tahun 2009 itu ditetapkan vonisnya jelek semuanya nilainya 30. Data DPT pun pada 2009 itu tidak jelas. 2014 ini kita berani bilang jelek, berani bilang bagus,” imbuhnya.
Dalam menganalisa data, BPS didamping Tim Ahli yang terdiri dari para pakar, antara lain Prof. Maswadi Rauf (UI), Prof. Musdah Mulia (UIN Jakarta), Dr. Syarif Hidayat (LIPI), dan Dr. Abdul Malik Gismar (Universitas Paramadina). “Dalam merumuskan IDI 2014, BPS melibatkansteakholder terkait seperti dari Kemenkopolhukam, Kemendagri, UNDP, dan Tim Ahli.”
Setelah menggelar diskusi sepanjang tahun, pada April 2015, BPS menggelar FGD yang melibatkan seluruh Pemda, pemimpin redaksi surat kabar, ketua partai, Depdagri, Mahasiswa, kepolisian, kejaksaan, penyelenggara pemilu dan lain-lain.
“Kita juga terimakasih kepada KPU yang telah memberikan kami dokumen untuk digotong-gotong ke sini, kemudian dikembalikan. Tapi ke depan dokumen KPU itu softcopy mestinya. Tidak harus kita bawa tapi kita akses saja,” ungkap Thoman.
Berdasarkan IDI 2014 ini, BPS mengungkapkan bahwa demokrasi di Indonesia semakin baik. “Demokrasi kita membaik. Situasi yang membaik ini harusnya semua pihak gembira, teramsuk masyarakat. Karena yang dinilai semua, 28 indikator ini tadi kan mencakup semua,” ujar Thoman.
Ia juga menjelaskan, keunggulan BPS dalam pengumpulan data karena BPS memeliki perangkat di seluruh daerah di Indonesia. Selain itu, BPS juga tidak memiliki kepentingan politik sebagaimana banyak diduga terjadi pada lembaga-lembaga survei.
“Kami tidak punya kepentingan, karena bukan survei yang dilakukan tidak melibatkan pihak-pihak berkepentingan. Hanya memang IDI belum digunakan oleh Pemda, terutama oleh Kesbang.”
Meski demikian, BPS siap jika dibutuhkan untuk membantu berbagai hal terkait dengan penghitungan data tertentu. “Dulu sampai tahun 2003, KPU dan BPS pernah kerjasama. Jadi kami siap. Tapi tim Ahli ikut. Tidak harus empat, satu dari mereka saja. Kita punya data dan metode penghitungan,” kata Thoman.
IDI 2014 mencapai 73,04 dalam skala indeks 0-100 atau naik 9,32 poin dibandingkan dengan IDI 2013 yang capaiannya sebesar 63,72. Capaian IDI 2014 ini masuk dalam kategori sedang. Meski demikian, angka tersebut sudah melampaui target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang dipatok 73,00.
Fluktuatifnya angka IDI merupakan cermin dari situasi dinamika demokrasi di Indonesia. IDI sebagai alat ukur perkembangan demokrasi yang khas Indonesia memang dirancang untuk sensitif terhadap naik turunnya kondisi demokrasi, karena IDI disusun secara cermat berdasarkan evidence based sehingga potret yang dihasilkan merupakan reflektisi realitas yang terjadi.(bow/ism/red)